
SUMENEP, beritadata.id – Penertiban pedagang kaki lima (PKL) yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sumenep belakangan ini menuai gelombang protes dan kekecewaan dari masyarakat, terutama bagi mereka yang berjualan di sepanjang Jalan Raya Pabian.

Peraturan daerah (Perda) memang harus ditegakkan. Tidak ada yang menyangkal bahwa berjualan di pinggir jalan adalah pelanggaran. Namun di atas Perda, masih ada hal lain yang jauh lebih tinggi nilainya, empati.
Pemkab mestinya tak hanya menjadi penegak Perda, tapi juga pelindung dan pengayom masyarakat. Ketika aturan ditegakkan tanpa nurani, yang ada bukanlah keadilan, melainkan ketakutan dan keresahan.
Sebab, bukan karena mereka yang berjualan disana tak paham aturan, melainkan karena merasa ditindak oleh ketegasan yang terasa mendadak, musiman, dan minim empati.
Jika dulu deretan lapak sederhana para PKL menghiasi Jalan Pabian, kini jalan itu sunyi sepi hanya menyisakan bekas lapak dan debu yang beterbangan. Tak ada lagi proses transaksi antara pembeli dan para PKL yang menyokong bangkitnya ekonomi kerakyatan
Mereka menghilang dari Maps bukan karena penjualnya pergi liburan, melainkan pelaku usahanya dipaksa angkat kaki oleh pemerintah dan bingung entah mau berjualan kemana.
Akibatnya, kini mereka terlunta lunta mencari nafkah demi menyambung hidup sanak keluarga tanpa membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Mereka yang sudah biasa hidup mandiri, kerja sendiri tanpa tahu dagangannya laku atau tidak, murni mendapat rezeki pemberian tuhan, bukan mengandalkan notifikasi gaji bulanan dan tunjangan. Kini terpaksa kehilangan tempat mata pencaharian.
“Kami bukan baru di sini. Sudah bertahun-tahun kami berdagang di Pabian. Tapi kenapa baru sekarang ditertibkan, apa salah kami sampai harus diperlakukan seperti ini,” ujar salah satu PKL yang lapaknya dibongkar dengan mata berkaca-kaca.
“Coba bayangkan kalau tempat yang sudah bertahun-tahun menjadi sumber nafkah tiba-tiba diratakan. Gimana perasaannya? Kami juga manusia, punya keluarga yang harus diberi makan setiap hari,” sambungnya.
Ironisya, solusi yang ditawarkan Pemkab Sumenep agar menempati area Pasar Kayu Pabian bukan menjadi obat penawar. Justru hal itu malah menambah rasa luka semakin dalam, ibarat luka malah disiram air garam. Sebab, lokasi baru itu masih berantakan, banyak kayu berserakan rawan banjir saat hujan.
“Kami diminta pindah ke pasar kayu, tapi lihat saja sendiri keadaannya disana, saat musim hujan air bisa menggenang sampai di atas mata kaki. Mana ada pembeli yang mau ke sana, kalau tidak ada pembeli jelas rugi, modal hilang nambah hutang,” urainya lirih.
Ia menilai, jika penertiban ini memang bertujuan untuk kebaikan kenyamanan bersama, mestinya dilakukan secara rutin dan terjadwal, bukan hanya muncul dadakan seperti badai musiman lalu menghilang.
Hari ini ditindak, besok tak ada kejelasan itu bukan bentuk ketegasan, tapi inkonsistensi yang mengarah pada kezaliman. Karena faktanya di sejumlah titik zona merah lainnya justru masih dibiarkan.
“Kalau memang mau menegakkan aturan, ya harus adil. Jangan cuma kami yang ditertibkan, sedangkan yang lain dibiarkan. Kami merasa diperlakukan tidak adil, kami rakyat bukanlah musuh negara, kami hanya butuh dipahami saja,” terang pria 39 tahun itu tanpa ingin disebutkan namanya. Selasa 29 April 2025.
Ia bersama PKL lainnya tak menolak aturan, hanya protes dan berharap mendapatkan ruang layak untuk bertahan hidup. Kata dia mestinya pemerintah tidak hanya memikirkan kecantikan ruang kota, tapi pentingnya memperlakukan pelaku usaha kecil sepertinya lebih manusiawi. (*/zn)
Leave a Comment