“Politik datang ke sepak bola dan menghancurkannya”: (Rahif Alameh, mantan Sekjen Asosiasi Sepakbola Lebanon)
OPINI, Lingkarjatim.com – Gong pesta demokrasi bagi rakyat Indonesia akan segera tiba. Pemilihan Umum (pemilu) bakal digelar tepat hari rabu 17 april 2019 nanti. Baik memilih calon legislatif (caleg) DPRD kabupaten/kota, DPRD propinsi, DPR RI, DPD RI serta presiden dan wakil presiden.
Semua rakyat yang sudah memenuhi syarat sebagai pemilih memiliki hak menentukan pilihannya. Hak memberikan suara atau memilih (right to vote) merupakan hak dasar (basic right) setiap warga negara. Hak yang harus dijamin pemenuhannya oleh negara. Karena hal ini dilindungi dan diatur oleh UUD 1945. Tak ada seorang pun yang berhak melarang seorang individu atau warga negara untuk menentukan pilihannya selama ia memenuhi syarat sebagai pemilih.
Pun begitu dengan supporter sepakbola yang juga memiliki hak untuk menentukan pilihan politiknya. Karena individu-individu dalam sepakbola tersebut juga merupakan warga negara yang memiliki hak memberikan suara.
Jika kita telaah lebih seksama dalam dunia per-suporteran, kita kerapkali melihat jargon ‘jauhkan sepakbola dari politik’. Sebuah etika non partisan yang disepakati bersama meski tidak secara tertulis di kalangan supporter. Karena menurut pemahaman mereka, politik-lah yang telah dan seringkali merusak sepakbola di Indonesia.
Pemahaman ini berkaca pada banyak kasus yang sudah terjadi. Semisal, bagaimana prestasi timnas Indonesia malah dijadikan komuditas politik oleh pihak tertentu. Begitu pun di level klub. Banyak klub sepakbola di Indonesia dijadikan kendaraan politik oleh berbagai pihak. Sehingga eksistensi politik pihak tersebut seringkali sangat menentukan prestasi yang akan diraih sebuah klub tersebut nantinya.
Tapi uniknya, jargon ‘jauhkan sepakbola dari politik’ ini seringkali malah menjebak (atau setidaknya menggiring opini) kalangan supporter pada situasi untuk tidak memilih alias golput. Jika ini terjadi, maka ada kesalahan pemahaman dari cara menafsirkan jargon tersebut. Ini menjadi kekeliruan menterjemahkan etika non partisan bagi kalangan supporter bola.
Karena sejatinya, jargon dan etika tidak tertulis tersebut disematkan pada komunitas supporter. Bukan pada individu-individu di dalamnya. Dalam artian, setiap individu supporter tetap memiliki hak untuk berpolitik. Termasuk hak memilih dan dipilih sebagaimana yang dijamin serta dilindungi undang-undang.
Namun di sisi lain mempergunakan atau menyeret komunitas supporter bola dalam politik, tentu sebuah kesalahan. Inilah makna sesungguhnya dari jargon dan etika non partisan tersebut.
Mari kita ambil contoh terdekat. Komunitas supporter K-Conk Mania di Madura yang hingga saat ini dibawah komando Presiden K-Conk, Jimhur Saros. Dalam berbagai kesempatan, Presiden K-Conk menegaskan, bahwa K-Conk Mania tidak berpolitik. K-Conk sebagai komunitas supporter sepakbola, bukan sebagai partisan salah satu kelompok politik tertentu. Hal ini sangat dipahami dan di-amini oleh semua anggotanya.
Bahkan ketika K-Conk diklaim oleh salah satu pasangan capres cawapres lewat media sosial mereka beberapa waktu lalu, pihak Mabes K-Conk pun memberikan bantahan bahwa mereka tidak pernah membuat kebijakan mendukung salah satu pasangan calon. Sehingga setiap anggotanya diberi kebebasan memilih kepada siapa mereka akan menjatuhkan pilihan saat di bilik suara nantinya.
Presiden K-Conk Jimhur Saros juga memberi kebebasan kepada seluruh anggotanya, untuk mendukung calon legislatif yang sesuai dengan hati nurani masing-masing.
Namun tentu, kebebasan yang diberikan ini ada batasannya. Yakni tidak diperbolehkan menggunakan nama institusi/komunitas supporter (K-Conk) dalam memberikan dukungan tersebut. Maka segala bentuk dukungan politik yang diberikan merupakan bentuk dukungan individu masing-masing. Bukan atas nama K-Conk Mania. Kebijakan inilah perwujudan sebenarnya dari etika non partisan yang termaktub dalam jargon ‘jauhkan sepakbola dari politik’.
Etika non partisan ala supporter sepakbola di Indonesia ini berkebalikan dengan banyak kelompok supporter bola di luar negeri. Banyak dari mereka yang malah secara terang-terangan menunjukkan sikap dan kecenderungan politiknya. Termasuk aliran politik yang menjadi panduan bagi kelompok supporter di luar negeri tersebut.
Semisal contoh, kelompok supporter klub asal Jerman, St. Pauli, yang memilih Antifa sebagai aliran politik mereka. Antifa merupakan abreviasi dari kata “anti” dan “fasisme”. Sehingga bias diartikan, aliran politik Antifa ini adalah sekelompok orang yang menganggap fasisme sebagai hal yang berbahaya di dalam kehidupan.
Patut diketahui, tidak ada klub selain St. Pauli yang memiliki kecenderungan politik suporter yang anti-fasis di Eropa. Bahkan, supporter St. Pauli ini sering dinobatkan sebagai suporter sayap kiri paling militan.
Bahkan sikap politik Antifa suporter St. Pauli ini semakin berkembang radikal. Mereka juga terlibat aktif menyikapi segala bentuk diskriminasi. Mulai dari persoalan ras marjinal hingga masalah kecenderungan seksual. Anda bisa melihat, supporter ultras St. Pauli akan berada di barisan terdepan untuk mendukung hak-hak LGBT.
Contoh lain seperti yang terlihat di persepakbolaan Lebanon. Mari kita sejenak membayangkan jika Madura United beserta supporternya berafiliasi ke NU dan Partai PKB. Lalu Persebaya ke Golkar, Persija beraliran nasionalis PDIP, Persib bersama PKS dan klub lain juga memiliki patron politik masing-masing. Ini hanya pengandaian saja.
Namun itulah yang terjadi di sepakbola Lebanon. Hampir semua klub sepakbola di negara tersebut berafiliasi dengan partai termasuk dengan aliran politiknya. Semisal klub Al-Ahly Sidon, Nejmeh FC dan Al Ansar. Ketiga klub ini memiliki basis supporter dan berafiliasi dengan partai-partai berbasis massa Islam Sunni.
Lalu klub Al-Ahed yang awalnya berafiliasi politik dengan Sunni. Lalu berubah haluan afiliasi ke Syiah setelah kepemilikan klub diambilalih kelompok Hizbullah di tahun 2005. Identitas klub ini pun sangat kental berafiliasi Hizbullah (Syiah). Mulai dari warna kebesaran tim yang berwarna kuning sama seperti warna partai. Bahkan para pimpinan partai pun banyak duduk di dalam manajemen tim Al Ahed.
Maka bisa dibayangkan, pertandingan sepakbola di Lebanon sama saja dengan pertarungan idelologi dan aliran politik setiap pekannya. Seperti yang dikatakan penulis buku Football in War Zone, James Montaque, menyebut sepakbola Lebanon sebagai area perang saudara mini setiap pekannya!
Kondisi ini nampak dibenarkan oleh mantan Sekretaris Jenderal Asosiasi Sepakbola Lebanon, Rahif Alameh yang mengatakan, “Politik datang ke sepak bola dan menghancurkannya”.
Maka beruntunglah sepakbola Indonesia. Karena kelompok atau komunitas supporter di sepakbola nasional kita telah menyepakati etika non partisan lewat jargon mereka: “jauhkan sepakbola dari politik!”.
Ya, kelompok supporter di Indonesia sepakat untuk tidak berpolitik lewat organisasi mereka. Namun tetap memiliki pilihan atau sikap politik pada masing-masing individu di dalamnya. Selamat mencoblos tanggal 17 April 2019 nanti, kawan!
*Divisi Humas Mabes K-Conk dan Wartawan RCTI di Bangkalan
Leave a Comment