BANGKALAN, beritadata.id – Beberapa hari ini publik Bangkalan ramai memperbincangkan tentang data kemiskinan. Hal itu berawal dari pembahasan Kebijakan Umum APBD dan Prioritas Plafon Anggaran (KUA-PPAS) tahun 2022 antara Badan Anggaran (Banggar) DPRD dan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD).
Saat pembahasan tersebut ada perbedaan data yang disajikan oleh Dinas Sosial (Dinsos) Bangkalan dan Badan Pusat Statistik (BPS) Bangkalan. Dinsos menyebut angka kemiskinan di Kabupaten Bangkalan mencapai 522.714 jiwa. Sementara menurut BPS angka kemiskinan hanya sekitar 200.000 jiwa.
Tentu perbedaan data tersebut menimbulkan perdebatan ditengah-tengah pembahasan KUA-PPAS. Bahkan ada yang menyebut KUA-PPAS Bangkalan 2022 ditetapkan tanpa adanya titik temu.
Menanggapi hal tersebut Ketua Komisi D DPRD Bangkalan Nur Hasan meminta semua pihak untuk tidak memperdebatkan perbedaan data tersebut. Karena menurutnya data yang disajikan oleh Dinsos dan BPS adalah hasil pendataan pada tahun 2015.
“Tentu kalau digunakan acuan pada tahun 2021 ada sangat tidak pas. Karena sudah terlalu lama tidak diperbaharui,” ujarnya, Sabtu (4/9/2021).
Politisi yang juga menjadi Anggota Banggar itu menyebut sampai saat ini pihak Dinsos maupun BPS belum melakukan verifikasi data kemiskinan di Bangkalan. Jadi sangat tidak relevan jika data yang belum diverifikasi dijadikan acuan atau bahkan diperdebatkan.
“Pendataan pada tahun 2015 itu menurut saya sarat dengan kepentingan politik lokal di Desa. Misalnya data orang yang dimasukkan bisa jadi hanya pendukungnya Kepala Desa,” imbuhnya.
Oleh sebab itu pihaknya tidak mempercayai data kemiskinan tahun 2015 itu secara utuh. Lebih-lebih menurutnya teknik pengumpulan data pada saat itu sangat tidak profesional.
“Menurut informasi petugas survei waktu itu tidak mendatangi rumah warga satu persatu. Tapi hanya cukup meminta data ke Kepala Desa atau paling mentok ke Kepala Dusun,” jelasnya.
Ia menegaskan jika ingin mendapatkan data yang valid serta benar-benar ingin mengetahui jumlah kemiskinan di Bangkalan, maka perlu dilakukan verifikasi data dengan teknik yang benar.
“Dan itu tidak mudah. Butuh anggaran yang besar serta tenaga yang benar-benar profesional. Jika ingin seperti itu mari kita dukung dengan anggaran,” tuturnya.
Ia menyakini bahwa angka kemiskinan di Kabupaten Bangkalan semakin berkurang. Pemerintah Kabupaten Bangkalan telah melakukan berbagai upaya untuk menekan angka kemiskinan. Salah satunya yang rutin dilakukan adalah memberikan insentif pada Guru Ngaji dan Guru Madin.
“Kemudian di tingkat Pemerintah Pusat ada PKH, BPNT, BLT, BST dan lain sebagainya. Itu luar biasa banyak. Tapi kalau datanya tidak dibenahi ya angka kemiskinan tetap di angka itu tidak bergeser,” ujarnya.
Jadi intinya kata Nur Hasan, jika data kemiskinan hasil pendataan tahun 2015 disajikan pada tahun ini jelas tidak akan ada perubahan. Padahal sangat mungkin angka kemiskinan sudah banyak berkurang.
“Nah kalau sudah demikian ujung-ujungnya pemerintah dianggap gagal. Padahal yang tidak beres kan datanya,” sesalnya.
Misalnya kata Nur Hasan nanti setelah dilakukan pemutakhiran data angka kemiskinan tetap tidak berubah maka perlu dilakukan evaluasi bersama termasuk oleh DPRD. “Karena di Undang-undang 23, Pemerintah Daerah bukan hanya eksekutif tapi juga legislatif. Jadi kalau Bupatinya gagal ya DPRDnya juga gagal,” pungkasnya.
Hal senada juga disampaikan oleh Anggota Banggar lainnya yaitu Anton Bastoni. Politisi Partai Gerindra itu mengatakan bahwa data yang disajikan baik oleh Dinsos ataupun BPS tidak bisa dipercayai seratus persen. Bukan tanpa alasan, ia menyebut begitu karena pada tahun 2015 ia menjadi salah satu petugas survei saat Pemutakhiran Basis Data Terpadu (PBDT).
“Waktu itu memang satu kecamatan dihendel oleh satu orang,” ujarnya.
Ia bercerita bahwa proses pemutakhiran data pada saat itu jauh dari kata profesional. Ia menyebut waktu itu hanya dibekali dengan data mentah hasil pemutakhiran sebelumnya yang harus diverifikasi ulang.
“Cuma proses verifikasinya ini tidak langsung ke rumah-rumah warga. Melainkan hanya datang ke Kepala Desa. Kemudian Kepala Desa mengundang semua Kepala Dusun,” imbuhnya.
Kemudian lanjut dia, data mentah tersebut diberikan kepada Kepala Dusun untuk diverifikasi. Alasan BPS waktu itu karena yang tahu kondisi dibawah adalah Kepala Dusun.
“Jadi yang melakukan pemutakhiran adalah Kepala Dusun bukan petugas. Kita waktu itu mentok hanya sampai Kepala Desa. Jadi tidak seperti apa yang disampaikan BPS kemarin,” jelasnya.
Dengan demikian ia tidak yakin bahwa data hasil pemutakhiran tersebut valid. Bisa saja kata dia data tersebut telah diintervensi oleh Kepala Desa ataupun Kepala Dusun.
“Saya tidak menuduh tapi saya curiganya seperti itu,” tuturnya.
Oleh sebab itu ia beranggapan bahwa data yang disajikan waktu pembahasan beberapa sangat tidak akurat. Apalagi kata dia pemutakhiran yang dilakukan sudah sangat lama.
“Jadi kalau memang betul-betul ingin data yang akurat maka harus segera diperbaharui dengan teknik yang modern dan benar,” pungkasnya. (Red)
Leave a Comment