Oleh: Setyaningsih, S.Pd.*
OPINI, beritadata.id – Pandemi yang tidak segera usai membuat pelaksana pendidikan memprioritaskan keselamatan nyawa. Namun pendidikan tetap harus berjalan. Kerena itu Pembelajaran Jarak Jauh(PJJ) adalah pilihan yang tepat. Secara teknis pembelajaran dilakukan dari rumah. Disebut pembelajaran dari rumah karena tempat belajarnya saja yang dirumah, sementara sumber belajar berada di tempat lain, bukan dirumah. Mereka butuh berkomunikasi dengan guru, mereka butuh membuka video, atau mengakses sumber-sumber informasi yang lain semacam google, youtube dan lain sebagainya. Untuk itu mereka membutuhkan gawai, kuota internet sekaligus jaringan yang memadai.
Di sinilah problem mulai bermunculan. Bagi mereka yang tinggal di perkotaan tidak akan ada masalah dengan jaringan. Tetapi bagi yang tinggal di pinggiran atau di pelosok, bahkan di kepulauan terpencil yang tidak terjangkau oleh jaringan internet,jelas ini satu masalah besar. Bagi kelompok ekonomi menegah ke atas, membeli gawai, serta kuota internet tetap mampu mereka lakukan. Bagaimana dengan kelompok masyarkat bawah? Jangankan membeli kuota internet, untuk makan saja sudah sulit. Jadilah mereka tidak mampu mengakses sumber belajar. Bagi mereka PJJ ini berarti belajar di rumah. Sumber belajarnya seadanya yang dijumpai di rumah. Gurunya adalah ibunya. Pada saat si ibu tidak mampu menjadi guru kadang yang terjadi justru kekerasan terhadap anak. Atau terjadi pembiaran terhadap mereka.
Prof. M.Nuh, mantan menteri pendidikan, dalam perbincangan beliau dengan Dahlan Iskan beliau mengatakan terkait dengan pembelajaran online, ”akan terjadi Losses in Learning ( pembelajaran yang hilang), jika terus berlanjut akan terjadi pemiskinan pembelajaran dan jika terus berlanjut akan terjadi stunting pembelajar (Di’s Way ),” Tentu ini adalah kondisi yang sangat berbahaya.
Bagaimana ini bisa terjadi? Inti dari belajar sebenarnya adalah terjadinya proses berfikir pada diri si pembelajar. Berfikir adalah sebuah proses yang libatkan beberapa komponen. Salah satunya adalah informasi awal yang tersimpan dalam benak pembelajar. Jika informasi itu tidak bisa di dapat maka proses berfikir itu tidak akan pernah terjadi. Maka para pembelajar ini akan kosong dari pemikiran, artinya juga kosong dari pembelajaran. Jika hal ini terjadi berlarut-larut akan mucul pembelajar yang mengalami stunting (kerdil, tidak bisa tumbuh).
Pembelajar yang kerdil, level berfikir mereka yang tidak meningkat. Padahal sebagai generasi penerus mereka akan mengambil alih tanggungjawab atas negeri ini. Mengelola sebuah negeri yang kaya raya seperti Indonesia, membutuhkan kemampuan berfikir tingkat tingggi. Dengan begitu mereka akan mampu menjadikan negara tetap berdaulat. Mereka tidak sudi disetir oleh para kapitalis yang tamak dan rakus. Tapi bagaimana jika kondisi generasi penerus orang-orang taraf berfikirnya rendah? Mereka akan mudah didominasi baik secara politik, ekonomi, budaya, dan sebagainya. Ini yang disebut dengan penjajahan non fisik. Penjajahan jenis ini jauh lebih berbahaya dari pada penjajahan fisik, karena tidak semua orang mampu melihat dan menyadarinya. Hanya orang-orang yang mampu berfikir politis dan ideologis yang mampu mendeteksinya. Dan ini adalah kemampuan berfikir tingkat tinggi.
Yang paling terancam dengan kondisi ini tentu adalah kelompok ekonomi bawah dan mereka yang tinggal di pelosok negeri. Jumlah mereka ini sangat banyak. Indonesia yang digadang-gadang pada tahun 2030 akan memiliki bonus demografi, karena jumlah penduduk usia produktif yang sangat banyak. Jika yang dimiliki adalah generasi yang mereka ‘stunting pembelajar’ maka bonus demografi itu bukan lagi faktor yang menguntungkan melainkan justru akan menjadi beban pembangunan.
Rencana Kemendikbud memberikan bantuan kuota internet disambut hangat oleh semua pihak. Kemendikbud menyediakan dana 9 trilyun rupiah untuk subsidi kuota internet (Detik News, 28 Agt 2020). Bantuan ini diharapkan akan bisa mengurangi sebagian problem Pembelajaran Jarak jauh(PJJ). Memang kebijakan ini serta merta menyelesaikan masalah. Karena bersamaan dengan hal itu juga dibutuhkan infrastruktur digital , yang meliputi kepemilikian gawai, cakupan jaringan operator dan kualitasnya, demikian juga kesiapan guru dan kurikulumnya. Apakah dana 9 T itu juga bisa dialokasikan hal ini? Rasanya kok tidak juga.
Apakah sulit bagi pemerintah menyediakan infrastruktur digital yang memadai? Tak mampukah pemerintah membeli satelit-satelit sehingga jaringan internet bisa menjangkau seluruh pelosok negeri? Bukankah alam Indonesia kaya raya? Tanah subur nan luas, laut, hutan, tambang emas, tembaga, bouksit, miyak ,gas dan sebagainya. Bukankah itu harta yang berlimpah? Kemanakah perginya seluruh kekayaan itu? Bukankah kekayaan itu milik rakyat?
Jawabnya adalah karena sumber-sumber kekayaan itu dikuasai oleh para pemodal besar swasta, baik nasional maupun asing. Sehingga kekayaan mengalir kepada para pemodal, bukan kepada pemerintah. Inilah pengelolaan ala kapitalisme. Sehingga pemerintah tidak cukup memiliki dana untuk mengurus keperluan rakyatnya. Bukankah undang-undang dasar mengamanahkan, bahwa” bumi, air, dan kekayaan di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat”. Jelas saja selama kapitalisme yang dijadikan rujukan, maka amanah undang-undang dasar itu tidak akan pernah terwujud.
Jika saja pemerintah mau berubah haluan, mengembalikan semua harta kekayaan itu pada posisinya. Harta milik pribadi biarkan dikuasai oleh pribadi-pribadi, harta milik negara dikembalikan penguasaannya kepada negara, harta milik umum dikembalikan kepada seluruh rakyat. Hutan, laut, tambang mineral, minyak bumi dan sumber daya alam yang lain adalah milik rakyat. Negara mengambil peran untuk mengelolanya atas nama rakyat. Dengan pengelolaan semacam itu negara akan memiliki cukup harta, bahkan jika hanya menggratiskan sekolah dengan semua sarananya ,itu akan sangat mudah. Dan kita tidak perlu memiliki generasi yang stunting secara intelektual. Bagaimana menurut anda?
*Praktisi Pendidikan mengajar di SMAN 1 Blega Kabupaten Bangkalan
Leave a Comment